Menkeu Sri Mulyani memberi paparan tentang UU HPP kepada wajib pajak di Semarang. |
Semarang-Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU Harmonisasi Perpajakan (HPP) memerluas ultimum remedium tindak pidana perpajakan hingga tahap persidangan, yang dari tahap sebelumnya hanya sampai pada tahap penyidikan saja. Bahkan, dalam UU HPP membawa perubahan besaran sanksi adminitrasi pajak lebih rasional. Pernyataan itu dikatakan saat sosialisasi UU HPP di Hotel Trentrem Semarang, Kamis (10/3) sore.
Sri Mulyani menjelaskan, sanksi administrasi pajak pada UU HPP membuat implementasinya lebih rasional dan lebih mencerminkan keadilan bagi wajib pajak. Dengan kata lain, sanksi pajak tidak berlebihan.
Menurut Sri Mulyani, ketentuan sanksi pajak di UU HPP mengubah peraturan sebelumnya yang tertuang di UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada UU HPP, pemerintah mengedepankan ultimum remedium sebagai upaya penegakan hukum pidana pajak dengan memprioritaskan pemulihan kerugian pendapatan negara.
"UU Harmonisasi Perpajakan memang ditujukan untuk membangun sebuah pondasi perpajakan di Indonesia yang lebih kuat, karena tidak ada negara di dunia ini yang bisa membangun dan menjadi makmur kuat di dunia ini tanpa perpajakan. Jadi memang ini adalah sebuah konsekuensi bernegara, bagi sebuah negara yang ingin terus membangunnya dan Indonesia sebagai negara yang masih di dalam income per kapitanya pada kelompok menengah. Kita punyai sekali kebutuhan pembangunan ke depan," kata Sri Mulyani.
Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan, wajib pajak yang sengaja melakukan tindak pidana akan disanksi lebih berat daripada alpa atau tidak sengaja. Sehingga, perubahan itu dianggap selaras dengan semangat UU Cipta Kerja.
"Sanksi setelah upaya hukum, tetapi keputusan keberatan/pengadilan menguatkan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak. Sanksi atas keberatan di UU HPP turun menjadi 30 persen, dari sebelumnya sebesar 50 persen. Sekarang kita bisa hitung secara lebih rasional," tandasnya. (K-08)
0 komentar:
Posting Komentar